Rasulullah mengabarkan kelak, akan ada pemimpin yang
(1) Tidak berhukum dengan hukum Allah dan RasulNya,
(2) Berhati SYAITHAN berjasadkan manusia,
(3) Berbuat korupsi (mengambil harta rakyatnya tanpa hak) dan otoriter (kejam, yakni dengan menyiksa atau bahkan membunuh rakyatnya);
Tapi apa nasehat Rasulullah kepada umatnya dalam menyikapi pemimpin tersebut?! DENGARLAH dan TAAT penguasa tersebut (dalam hal kebaikan)!
Rasulullah bersabda:
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ، لاَيَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ، وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ،
“Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku….”
وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ، قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِيْ جُثْمَانِ إِنْسٍ
Dan akan ada diantara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.”
Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!
“Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut (dalam hal kebaikan) walaupun punggungmu dicambuk(baca: menyiksa rakyatnya) dan hartamu dirampas olehnya(baca: berbuat KORUPSI), maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).”
(HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847)
Tidak ada ketaatan dalam perintah maksiat
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكرَهَ إِلا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلا سَمْعَ وَلا طَاعَةَ
“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat”
[HR. Al-Bukhari no. 2955,7144; Muslim no. 1839; Tirmidzi no. 1707; Ibnu Majah no. 2864]
Al-‘Allamah Al-Mubarakfury berkata:
“Dalam hadits ini (yaitu Sunan At-Tirmidzi no. 1707) terkandung tuntutan bahwa jika imam/pemimpin itu memerintahkan untuk mengerjakan amalan sunnah atau mubah, maka wajib untuk melaksanakannya.”
Al-Muthahhar mengomentari hadits ini :
‘Yaitu bahwa mendengar ucapan penguasa dan mentaatinya adalah perkara wajib bagi setiap muslim, baik dia memerintah kepada apa yang sesuai dengan tabiat muslim tersebut atau tidak. Syaratnya adalah penguasa tersebut tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat.
Jika penguasa memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh mentaatinya (dalam perkara maksiat tersebut), namun juga tidak boleh membangkang/memerangi penguasa tersebut”
[Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, 5/365, Cet. As-Salafiyyah, Madinah].
Tidak membenarkan kedustaan dan tidak menolong kezhaliman merekaNabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ka’b bin’ Ujroh,
أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ
“Semoga Allah melindungimu dari pemerintahan orang-orang yang bodoh”
(Ka’b bin ‘Ujroh Radliyallahu’anhu) bertanya, “apa itu kepemerintahan orang bodoh?”
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda:
أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي
“Yaitu para pemimpin negara sesudahku yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak pula berjalan dengan sunnahku”
فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي
barangsiapa yang membenarkan mereka dengan kebohongan mereka serta menolong mereka atas kedholiman mereka maka dia bukanlah golonganku dan aku juga bukan termasuk golongannya, mereka tidak akan datang kepadaku di atas telagaku.
وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي
barang siapa yang tidak membenarkan* mereka atas kebohongan mereka, serta tidak menolong mereka atas kedholiman mereka maka mereka adalah golonganku dan aku juga golongan mereka serta mereka akan mendatangiku di atas telagaku.
(HR. Ahmad, dishahiihkan oleh Syaikh Muqbil)
* Yakni, Tidak membenarkan dengan hati, tidak pula membenarkan dengan lisan. Tidak membenarkan dengan lisan adalah dengan menasehatinya. Adapun tata cara menasehati, insya Allah akan dijelaskan.
Imam Nawawi berkata,
“Barangsiapa yang mendiamkan kemungkaran seorang pemimpin, tidaklah dia berdosa, kecuali (jika) dia menunjukkan sikap rela, setuju atau mengikuti kemungkaran itu.”
Berkata Ibnu Rajab:
“Yang sangat ditakutkan atas orang (ulamaa’) yang mendatangi para penguasa yang zhalim adalah membenarkan kedustaan mereka, menolong kezhaliman mereka meskipun dengan diam, serta membiarkan mereka berbuat zhalim (tanpa menasehatinya dan membimbingnya ke jalan yang lurus)
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.”
(HR. Muslim no. 49)
Adapun berkatain dengan hal ini, penguasa tidaklah diubah dengan tangan (yaitu dengan memberontak), kecuali penguasa tersebut menampakkan kekafiran yang nyata dan pemberontakan tersebut tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar (yang hal ini akan dijelaskan, insyaa Allah).
Maka jika kondisinya demikian, maka yang tersisa hanyalah pengingkaran dengan lisan, dan pengingkaran dengan hati.
Imam Ibnu Rajab berkata mengomentari hadits diatas:
“Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.”
(Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258)
Adapun pengingkaran dengan lisan, mari kita menyimak apa yang disampaikan oleh Syaikh Ibrahim ar Ruhayliy:
“…Adakalanya kedudukan kita mengharuskan kita untuk tidak mengingkari secara langsung, tapi hendaknya kita datangi dulu seorang ahli ilmu yang diterima perkataanya, kita katakan pada dia: Fulan telah berbuat begini dan begitu, sebaiknya Anda menasehatinya dan menerangkan pada dia (al-haq), mudah-mudahan Allah memberi petunjuk pada dia. Inilah wujud pengingkaran dengan lisan karena mengingkari itu tidak harus secara langsung.”
Maka hendaknya kita menyerahkan hal ini kepada ulamaa’, sehingga merekalah yang mendatangi penguasa SECARA LANGSUNG atau mengirimkan surat kepada mereka dalam rangka menasehati mereka akan kesalahan mereka. TIDAK DISYARATKAN dalam pengingkaran dengan lisan ini, bahwa nasehat tersebut HARUS DITERIMA PENGUASA.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam :
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَّةً وَلَكِنْ لَيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ
“Barangsiapa yang ingin menasihati sulthan (pemimpin kaum muslimin) tentang satu perkara, maka JANGANLAH ia MENAMPAKKANNYA secara terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangannya secara menyendiri (untuk menyampaikan nasihat).
فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
Bila sulthan tersebut mau mendengar nasihat tersebut, maka itu yang terbaik. Dan bila sulthan tersebut enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia (si penasihat) telah melaksanakan kewajibannya yang dibebankan kepadanya”
[HR. Ahmad no. 15369, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096-1098, dan Al-Hakim no. 5269; shahih lighairihi]
Allah berfirman:
اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ . فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan KATA-KATA yang LEMAH LEMBUT, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
[QS. Thaahaa: 43-44].
Padahal kita mengetahui penguasa tersebut TIDAKLAH LEBIH BEJAT dari fir’aun, dan kita mengetahui bahwa kita TIDAKLAH LEBIH BAIK dari musa dan harun ‘alayhimas salaam.
Dan hal ini dicontohkan sebaik-baiknya oleh shahabat, yaitu Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhumaa ia berkata : Seseorang berkata kepadanya :
“Apakah engkau tidak menemui ‘Utsman (bin ‘Affan) dan menasihatinya ?”.
Maka Usamah menjawab :
“Apakah engkau memandang bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku perdengarkan di hadapanmu?
!
Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya dengan empat mata. Sebab aku tidak akan membuka perkara (fitnah) dimana aku tidak menyukai jikalau aku adalah orang pertama yang membukanya
”
[HR. Al-Bukhari no. 7098 dan Muslim no. 298]
(1) Tidak berhukum dengan hukum Allah dan RasulNya,
(2) Berhati SYAITHAN berjasadkan manusia,
(3) Berbuat korupsi (mengambil harta rakyatnya tanpa hak) dan otoriter (kejam, yakni dengan menyiksa atau bahkan membunuh rakyatnya);
Tapi apa nasehat Rasulullah kepada umatnya dalam menyikapi pemimpin tersebut?! DENGARLAH dan TAAT penguasa tersebut (dalam hal kebaikan)!
Rasulullah bersabda:
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ، لاَيَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ، وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ،
“Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku….”
وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ، قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِيْ جُثْمَانِ إِنْسٍ
Dan akan ada diantara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.”
Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!
“Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut (dalam hal kebaikan) walaupun punggungmu dicambuk(baca: menyiksa rakyatnya) dan hartamu dirampas olehnya(baca: berbuat KORUPSI), maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).”
(HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847)
Tidak ada ketaatan dalam perintah maksiat
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكرَهَ إِلا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلا سَمْعَ وَلا طَاعَةَ
“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat”
[HR. Al-Bukhari no. 2955,7144; Muslim no. 1839; Tirmidzi no. 1707; Ibnu Majah no. 2864]
Al-‘Allamah Al-Mubarakfury berkata:
“Dalam hadits ini (yaitu Sunan At-Tirmidzi no. 1707) terkandung tuntutan bahwa jika imam/pemimpin itu memerintahkan untuk mengerjakan amalan sunnah atau mubah, maka wajib untuk melaksanakannya.”
Al-Muthahhar mengomentari hadits ini :
‘Yaitu bahwa mendengar ucapan penguasa dan mentaatinya adalah perkara wajib bagi setiap muslim, baik dia memerintah kepada apa yang sesuai dengan tabiat muslim tersebut atau tidak. Syaratnya adalah penguasa tersebut tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat.
Jika penguasa memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh mentaatinya (dalam perkara maksiat tersebut), namun juga tidak boleh membangkang/memerangi penguasa tersebut”
[Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, 5/365, Cet. As-Salafiyyah, Madinah].
Tidak membenarkan kedustaan dan tidak menolong kezhaliman merekaNabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ka’b bin’ Ujroh,
أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ
“Semoga Allah melindungimu dari pemerintahan orang-orang yang bodoh”
(Ka’b bin ‘Ujroh Radliyallahu’anhu) bertanya, “apa itu kepemerintahan orang bodoh?”
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda:
أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي
“Yaitu para pemimpin negara sesudahku yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak pula berjalan dengan sunnahku”
فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي
barangsiapa yang membenarkan mereka dengan kebohongan mereka serta menolong mereka atas kedholiman mereka maka dia bukanlah golonganku dan aku juga bukan termasuk golongannya, mereka tidak akan datang kepadaku di atas telagaku.
وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي
barang siapa yang tidak membenarkan* mereka atas kebohongan mereka, serta tidak menolong mereka atas kedholiman mereka maka mereka adalah golonganku dan aku juga golongan mereka serta mereka akan mendatangiku di atas telagaku.
(HR. Ahmad, dishahiihkan oleh Syaikh Muqbil)
* Yakni, Tidak membenarkan dengan hati, tidak pula membenarkan dengan lisan. Tidak membenarkan dengan lisan adalah dengan menasehatinya. Adapun tata cara menasehati, insya Allah akan dijelaskan.
Imam Nawawi berkata,
“Barangsiapa yang mendiamkan kemungkaran seorang pemimpin, tidaklah dia berdosa, kecuali (jika) dia menunjukkan sikap rela, setuju atau mengikuti kemungkaran itu.”
Berkata Ibnu Rajab:
“Yang sangat ditakutkan atas orang (ulamaa’) yang mendatangi para penguasa yang zhalim adalah membenarkan kedustaan mereka, menolong kezhaliman mereka meskipun dengan diam, serta membiarkan mereka berbuat zhalim (tanpa menasehatinya dan membimbingnya ke jalan yang lurus)
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.”
(HR. Muslim no. 49)
Adapun berkatain dengan hal ini, penguasa tidaklah diubah dengan tangan (yaitu dengan memberontak), kecuali penguasa tersebut menampakkan kekafiran yang nyata dan pemberontakan tersebut tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar (yang hal ini akan dijelaskan, insyaa Allah).
Maka jika kondisinya demikian, maka yang tersisa hanyalah pengingkaran dengan lisan, dan pengingkaran dengan hati.
Imam Ibnu Rajab berkata mengomentari hadits diatas:
“Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.”
(Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258)
Adapun pengingkaran dengan lisan, mari kita menyimak apa yang disampaikan oleh Syaikh Ibrahim ar Ruhayliy:
“…Adakalanya kedudukan kita mengharuskan kita untuk tidak mengingkari secara langsung, tapi hendaknya kita datangi dulu seorang ahli ilmu yang diterima perkataanya, kita katakan pada dia: Fulan telah berbuat begini dan begitu, sebaiknya Anda menasehatinya dan menerangkan pada dia (al-haq), mudah-mudahan Allah memberi petunjuk pada dia. Inilah wujud pengingkaran dengan lisan karena mengingkari itu tidak harus secara langsung.”
Maka hendaknya kita menyerahkan hal ini kepada ulamaa’, sehingga merekalah yang mendatangi penguasa SECARA LANGSUNG atau mengirimkan surat kepada mereka dalam rangka menasehati mereka akan kesalahan mereka. TIDAK DISYARATKAN dalam pengingkaran dengan lisan ini, bahwa nasehat tersebut HARUS DITERIMA PENGUASA.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam :
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَّةً وَلَكِنْ لَيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ
“Barangsiapa yang ingin menasihati sulthan (pemimpin kaum muslimin) tentang satu perkara, maka JANGANLAH ia MENAMPAKKANNYA secara terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangannya secara menyendiri (untuk menyampaikan nasihat).
فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
Bila sulthan tersebut mau mendengar nasihat tersebut, maka itu yang terbaik. Dan bila sulthan tersebut enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia (si penasihat) telah melaksanakan kewajibannya yang dibebankan kepadanya”
[HR. Ahmad no. 15369, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096-1098, dan Al-Hakim no. 5269; shahih lighairihi]
Allah berfirman:
اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ . فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan KATA-KATA yang LEMAH LEMBUT, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
[QS. Thaahaa: 43-44].
Padahal kita mengetahui penguasa tersebut TIDAKLAH LEBIH BEJAT dari fir’aun, dan kita mengetahui bahwa kita TIDAKLAH LEBIH BAIK dari musa dan harun ‘alayhimas salaam.
Dan hal ini dicontohkan sebaik-baiknya oleh shahabat, yaitu Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhumaa ia berkata : Seseorang berkata kepadanya :
“Apakah engkau tidak menemui ‘Utsman (bin ‘Affan) dan menasihatinya ?”.
Maka Usamah menjawab :
“Apakah engkau memandang bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku perdengarkan di hadapanmu?
!
Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya dengan empat mata. Sebab aku tidak akan membuka perkara (fitnah) dimana aku tidak menyukai jikalau aku adalah orang pertama yang membukanya
”
[HR. Al-Bukhari no. 7098 dan Muslim no. 298]